Powered By Blogger

Selasa, 23 Desember 2008

JANGAN DUSTA, LA TAKZIB

Umur, baik umur manusia atau umur suatu bangsa sangat menentukan. Sebagai manusia, usia 40 tahun seharusnya sudah dalam kondisi konsis. Jika masih ada manusia yang sudah berusia 40 tahun masih juga melakukan ‘amalun shalihun la yardlahu, selamanya dia tidak akan mendapatkan ridha.

Begitu pula suatu bangsa. Manusia yang sudah berusia 40 tahun namun masih tidak konsisten dengan kebaikan, dia akan menjadi manusia yang hancur sebab biasanya pada usia itu manusia harus sudah memiliki wisdom (bijak).

Lalu apa ukurannya? Biasanya kidzib atau dusta. Jika pada usia itu masih senang berdusta, pertanda dia akan terjerumus kepada perbuatan yang bermakna kejahatan. Rasulullah pernah memberi nasihat kepada orang yang datang kepada Rasul untuk masuk Islam. Sesudah syahadatain, “la takdzib” (jangan dusta). Rasul ditanya sampai tiga kali, “sesederhana itu ya Rasul?” Rasulullah selalu menjawab, “la takdzib”.

Kunci kesuksesan seseorang terletak pada pembohong atau tidak pembohongnya. Apakah dia mengidap penyakit kidzib atau tidak. Jika sudah berumur 40 tahun masih bohong hingga menjelang maut pun akan terus berbohong. Jangan berharap menjadi manusia yang bisa menyelesaikan urusannya dengan baik. Sekali lagi, orang yang akan menuju sukses kuncinya “la takdzib”.

Pertanyaannya jika sudah berumur 40 tahun ke atas lalu masih senang kidzib, apa obatnya? Pada prinsipnya setiap penyakit memiliki obat. Ya Allah, mudah-mudahan kita semua tidak termasuk golongan orang-orang kidzib. Maka mari jaga diri dan hati agar jangan sampai terkena penyakit kidzib. Jika merasa sudah kena, segera obati sendiri sebab mengobati diri sendiri dari suatu penyakit yang ada di hati adalah lebih baik.

Bangsa pun demikian. Negara, bangsa atau kelompok masyarakat jika sudah terjangkit penyakit kidzib, grafik bangsa atau negara itu biasanya akan menurun. Sebaliknya jika bangsa atau negara atau kelompok masyarakat bisa mengatasi penyakit kidzib yang ada pada kehidupan mereka, biasanya bangsa atau negara itu cepat maju. Sekali lagi, masyarakat yang terkena penyakit kidzib pasti rusak, namun masyarakat yang bisa sadar dari penyakit itu pasti cepat maju. Bangsa yang melakukan kebajikan dan kebijakan maka masyarakat bangsa itu akan menjadi masyarakat yang bersih dan berwibawa.

Lalu apa yang menjadi ukuran kidzib? Apa yang besarnya diharamkan, maka kecilnya pun diharamkan. Itu ukurannya. Maka dusta kecil pun sesuatu yang berbahaya. Jangan takut melawan dan mengatasi kidzib. Kita mulai pada diri masing-masing, bukan dari orang lain. Itulah yang diistilahkan oleh Rasul, ibda’ bi nafsika, mulailah dari setiap diri.

MARILAH MENGGALANG SOLIDARITAS

Idul Kurban tahun 1429/2008 ini, dunia ditandai dengan terjadinya suatu kesulitan besar dalam menata perikehidupan umat manusia penghuni bumi ini. Bumi yang dihuni berbagai bangsa yang tersebar dalam berbagai negara, secara serentak merasakan kesulitan tersebut, semua menyatakan bahwa negara-negara yang ada masuk dalam krisis yang menakutkan.

Ternyata kesusahan, kesulitan, maupun krisis ini terjadi justru pada saat zaman semakin modern, sains teknologi semakin tinggi; dimana krisis yang dihadapi umat manusia ini bukan semakin tertanggulangi, namun justru semakin meluas dan mendalam
Di dalam situasi krisis dan tantangan yang semakin menghimpit inilah umat manusia selalu diingatkan agar tidak kehilangan semangat dan harapan, dan agar selamat, umat manusia mesti kembali kepada hakekat kehidupannya yakni saling bergandeng tangan menggalang solidaritas, yang kuat menolong yang lemah.

Adalah suatu kebutuhan apabila manusia memandang kemasa depannya (itulah harapan). Harapan akan memperoleh sesuatu itulah yang membuat pekerjaan terasa manis. Dimana ada keyakinan dan keimanan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang hidup, yang berprakarsa, bertindak dan bercampur tangan dalam hidup manusia, serta percaya bahwa Ia akan menepati janji-janjiNya, disitu harapan dalam pengertian orang yang beriman menjadi mungkin. Orang beriman yakin, bahwa hal-hal yang ia harapkan akan menjadi kenyataan dan harapannya tidak akan mengecewa¬kannya.

Dalam konteks sebagai bangsa Indonesia, dimana himpitan krisis berskala nasional yang kita alami sejak 10 tahun lalu, belumpun dapat dipulihkan secara menyeluruh, kini krisis global sedang menghadang kembali.

Dalam menanggulangi krisis yang terjadi silih berganti yang belum tertanggulangi secara tuntas ini, sebagai bangsa, kita harus berani mengadakan evaluasi. Apa gerangan yang kita harus tata ulang?
Sebagai bangsa, dalam bernegara, sesungguhnya kita telah memiliki landasan dasar yang kokoh yang mumpuni, sebagai landasan strategi budaya, strategi mengelola cara berpikir, bertindak, bereaksi lokal, nasional, maupun global.
Mungkin yang harus ditata ulang adalah ketaatan dan keberpihakan serta kesetiaan bangsa terhadap asas dan dasar negara yang telah disepakati bersama. Mungkin sebagai bangsa, belum sepenuhnya konsen, untuk meletakkan dasar-dasar negara ini sebagai suatu sistem yang utuh, sehingga tindakan yang dilakukan, orientasinya selalu belum, bahkan tidak berpihak kepada dasar-dasar yang telah disepakati.

Bahwa terjadinya perubahan politik (reformasi) yang dibarengi oleh terjadinya krisis ekonomi jilid I di negara kita, yang telah berjalan 10 tahun, kita selalu saja menyaksikan sajian tindakan-tindakan yang selalu antagonistis terhadap dasar-dasar negara yang telah disepakati.

Sebagai negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya.
Jaminan yang diberikan oleh dasar dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ini sungguh sangat mendasar dan menyeluruh bagi bangsanya, tidak terkecuali. Namun dalam praktek kehidupan nyata selama 10 tahun berjalan ini, justru semakin bebas kita menyaksikan kemunafikan sikap sebagian rakyat bangsa Indonesia. Praktek-praktek kebrutalan atas nama agama, kejahatan kemanusiaan atas nama agama dilakukan dengan enteng tanpa beban, bahkan mereka berkeyakinan bahwa tindakan-tindakan mereka itu mendapat ridlo Tuhan.

Sebagai negara yang berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab, yang telah dijabarkan oleh UUD negara dalam bab hak azasi manusia, yang secara panjang lebar diurai dalam berbagai pasal dan ayat-ayatnya, bahkan dipertegas lagi dalam petunjuk detail berupa UU tentang hak azasi manusia. Semuanya itu agar dapat melindungi manusia/kemanusiaan serta mengajak dan mendorong bangsa Indonesia agar dapat memiliki budaya saling mengorangkan orang.

Dalam konteks budaya saling mengorangkan orang ini, kita bangsa Indonesia masih perlu terus memupuk dan meningkatkan kemampuan.
Walhasil, seluruh dasar negara Indonesia yang kita simpulkan sebagai ajaran Illahi dan merupakan ideologi modern ini, akan menjadi tidak bermakna, jika tidak menjadi pola pikir, sistem berpikir dan bertindak bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kembali kepada tajuk utama pesan Idul Kurban tahun ini “menggalang solidaritas sesama bangsa”, mari kita yakini bahwa kita bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang majemuk, majemuk dalam kesukuan, keagamaan, ras , dan golongan, namun menyatu dalam kebangsaan, yakni Indonesia. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya kecuali yang hidupnya dapat lebih bermanfaat dan menyebarkan manfaat bagi kemaslahatan hidup bangsanya dan manusia pada umumnya.

Tatkala bangsa ini dapat menyingkirkan/mengendalikan keangkuhannya dan rasa superioritas kesukuan, keagamaan, ras, dan golongannya, maka akan terkikis rasa saling curiga, saling merasa benar sendiri, angkuh, yang pada gilirannya akan tumbuh rasa saling toleransi dan terbukalah semangat dan harapan untuk menata masa depan bersama yang cerah.

Solidaritas yang kita maksudkan adalah, sifat satu rasa, senasib, setia kawan, dll. Sifat solider semacam ini baru akan timbul jika kita telah menyatu dalam pola pikir dan sistem berpikir bersumber dari dasar yang sama, yakni nilai-nilai dasar negara Indonesia yang telah disepakati. Dengan didukung oleh potensi-potensi yang dimilki oleh warga bangsa dan didukung oleh rasa solidaritas yang tinggi dalam menghadapi berbagai tantangan, kita yakin, harapan kita untuk masuk kedalam masa depan yang cerah dalam wujud Indonesia Kuat, menjadi sangat mungkin untuk wujud.

Harapan memasuki masa depan bersama yang cerah dalam bentuk Indonesia menjadi Kuat merupakan pengharapan akan kemuliaan masa depan dan keselamatan nya. Dan harapan akan keselamatan ini adalah sebuah “topi baja” suatu bagian yang paling penting dari pakaian besi untuk perang melawan kejahatan kemanusiaan.

Harapan yang kita maksud, tidak seperti layang-layang, yang tergantung kepada angin yang berubah-ubah, melainkan seperti “sauh jiwa yang tetap mantap dan tidak berubah”, menembus jauh kedalam alam abadi yang tidak nampak. Ini maknanya kita harus membuang jauh-jauh rasa cemas menyongsong hari esok, sebab hari esok ada dalam genggaman Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dengan bermodalkan solidaritas sesama bangsa dan sikap toleransi yang tinggi antara sesama warga bangsa, dan dengan Kekuatan Besar serta kasih sayangNya, akan memampukan kita berbuat hal-hal yang besar, bahkan melebihi apa yang telah kita perbuat selama ini, untuk mengatasi kesulitan, tantangan dan krisis yang menghimpit secara nasional maupun global. Dan kita diberi kemampuan melihat masa depan, ke suatu masa dimana kita akan terus mengambil bahagian untuk kestabilan dan ketertiban dunia.
Kita yakin, karena bangsa Indonesia secara demokratis telah membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kiranya pemerintah dengan bergandengan tangan bersama segenap lapisan rakyat Indonesia yang berjumlah lebih dari 230 juta orang, dan dengan solidaritas yang tinggi, dapat menanggulangi tantangan besar yang dihadapi.
Pemerintah bersama rakyat Indonesia dalam menata perekonomian nasional dan mewujudkan suatu keadilan sosial semestinya selalu konsisten / istikomah terhadap konstitusi, berpihak pada sebesar-besar kemakmuran rakyat dan berprinsip kebersamaan. Kemampuan pemerintah dalam mengemban tugas negara berdasar konstitusi selalu diuji dan dinilai oleh rakyat. Keberhasilan ataupun sebaliknya, rakyat pula yang akan memberi penilaian, melalui sistem demokrasi.

Pada tahun 2009 yang akan datang ini bangsa Indonesia kembali akan mengadakan pemilihan umum, sebagai penilaian terhadap kerja dan kinerja pemerintah selama periode pemerintahannya, dan untuk memberi mandat baru bagi pemerintah berikutnya.
Kita berharap pilihan rakyat akan membawa hasil, dengan tampilnya pemimpin pemerintahan yang berkemampuan menanggulangi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia, dan untuk itu mari kita sukseskan pelaksanaannya.