Powered By Blogger

Minggu, 24 Januari 2010

MILLAH IBRAHIM SEBAGAI INDUK AGAMA SAMAWI

BISMILLAHIRROHMANIRROHIM

Asalamualaikum wr wb.

Pesan takwa kepada Allah S.W.T. dan menjauhi kejahatan, menjadi inti utama khutbah/taushiyah, yang disampaikan kepada jamaah oleh imam/khatib, sebab: Bertakwa kepada Tuhan Y.M.E., itulah pencapaian hikmat, dan menjauhi kejahatan, itulah kematangan akal budi.
Hikmat adalah: Kepintaran dan kepiawaian mencapai hasil, menyusun rencana yang benar untuk mencapai hasil yang dikehendaki. Tempat kedudukan hikmat adalah hati, pusat keputusan moral dan intelektual.
Karenanya, memperoleh hikmat adalah: Memperoleh pengertian, yang dikumpulkan dari pengetahuan tentang berbagai ajaran ilahi dan menerapkannya dalam hidup sehari-hari, merupakan gabungan antara pengetahuan maupun pengertian dengan ketaatan, yang dipandu oleh penekanan bimbingan dari para nabi Allah.
Dari kepercayaan kepada semua itu maka timbullah ungkapan lahiriah/jasadiah yang sering disebut sebagai ibadah/dharma bhakti, atau sering disebut sebagai agama. Respon umat manusia terhadap ketakwaan kepada Tuhan Y.M.E berefek pada timbulnya berbagai bentuk dan macam ibadah (peribadatan) dan wujudnya berbagai agama.
Dalam hal ini menjadi mustahil suatu agama akan menjadi dominan dengan totalitas tunggal dalam menata kehidupan moral maupun sosial. Namun jika para penganut agama-agama (umat manusia) terus berkemauan merujuk kepada ajaran Ilahi, maka agama-agama (umat manusia) akan dapat masuk dalam lingkaran kebersamaan dalam usahanya mencapai tatanan moral maupun sosial kehidupan ini. Interdependensi umat manusia, ternyata harus merambah sampai ke dalam ranah keberagamaan.

Sasaran Ajaran Ilahi
Oleh sebab itu sasaran ajaran ilahi adalah: rahmatan lil ‘alamin, yang maknanya: Rahmat-Nya merambah segala penghuni alam raya ini, maknanya rahmat Ilahi itu tidak eksklusif bagi kelompok maupun kultur tertentu saja, namun sangat majemuk, merambah bagi segala umat manusia yang fitrahnya multikultural.
Karenanya memaknai rahmatan lil ‘alamin seharusnya bukan universalistik, sebab universalistik itu mengandung makna ke arah totalistik tunggal, yang sesungguhnya bertolak belakang dengan fitrah manusia yang multikultural.
Misi ajaran Ilahi adalah rahmatan lil ‘alamin, dari sejak dikumandangkan oleh para nabi Allah hingga kapanpun, para nabi Allah selalu merujuk tuntunannya kepada ajaran Ilahi yang sama. Sekalipun pada prakteknya para pengikut nabi-nabi yang kemudian mengelompok dalam berbagai agama yang kita saksikan kini banyak terjadi “perbedaan” penghayatan maupun interpretasi.

Mengimani Keberadaan Para Nabi adalah Ajaran Ilahi
Para nabi Allah menurut keyakinan dan iman yang diajarkan oleh ajaran Ilahi yang terkandung di dalam Al-Qur’an adalah wajib diimani keberadaannya. Lebih detail lagi ajaran Al-Qur’an secara rinci menyebut nama sebagian mereka yang mesti diimani itu, dari Adam a.s. (nabi pertama) sampai dengan Nabi Muhammad S.A.W. nabi terakhir, walaupun masih ada nama-nama nabi selain sejumlah yang disebutkan itu.
Dalam hal ini Islam mengajarkan penekanan penghormatan kepada para nabi dan dengan segala ajaran Ilahi yang dibawanya. Sebagai ungkapan penghormatan, dalam setiap menyebut nama nabi Allah itu seorang muslim ditekankan agar selalu mengiringi sebutannya itu dengan ungkapan do’a baginya, seperti: alaihis salam atau alaihi sholatu wassalam, yang maknanya: Semoga Tuhan selalu melimpahkan keselamatan dan kedamaian padanya.
Sebagai nabi besar, yang menerima perjanjian Tuhan, Ibrahim a.s. memainkan peranan yang unik, baik dalam tradisi Islam maupun Yahudi.

Di dalam Islam, orang beriman diperintah Tuhan agar bersalawat dan berdo’a selamat untuk nabi (Al-Qur’an), kemudian Nabi Muhammad S.A.W. mengajarkan matan lafalnya kepada sahabat beliau:

قولوا:اللهم صلى على محمد وعلى ال محمد كما صليت على ابراهيم
وبارك على محمد وعلى ال محمد كما باركت على ابراهيم
Yang artinya:

Dalam bershalawat ucapkan:
Semoga Tuhan mencurahkan rahmat dan berkat-Nya kepada Nabi Muhammad sebagaimana Tuhan mencurahkan rahmat dan berkat-Nya kepada Nabi Ibrahim.
Rahmat dan berkat Tuhan untuk Ibrahim a.s. menjadi acuan dalam ungkapan do’a shalawat tersebut. Sebab berbagai tuntunan dan bimbingan keagamaan dalam agama Islam banyak mengacu kepada millah Ibrahim (agama Ibrahim).
Ibrahim a.s. sebagai panutan keagamaan, sekaligus silsilah kenabian atau pribadi nabi-nabi Allah. Nabi Muhammad S.A.W. bernasab kepada silsilah Ibrahim a.s. dari putra beliau Nabi Ismail a.s. sedangkan nabi-nabi bani Israel bernasab kepada Ibrahim a.s. dari putra beliau Nabi Ishak a.s.

Selanjutnya tradisi sunat (khitan) bagi pria, merupakan amalan yang mesti dilaksanakan oleh kalangan muslim, orang-orang Ibrani (Yahudi) juga melakukan amalan ini.
Sering kita dengar seseorang muslim merasa risi dan belum tenang jika putranya belum dikhitan. Juga kepada seseorang pria yang baru memeluk Islam, hal yang sering dipertanyakan adalah, sudah dikhitan atau belum?
Tradisi sunat (khitan) menjadi sangat penting, sekalipun dalam kitab fikih tidak dibahas secara detail.

Sesungguhnya tradisi sunat (khitan) yang yang telah mengakar ini muaranya adalah dari Nabi Ibrahim a.s.. Kutipan dari Suhuf Ibrahim yang terhimpun dalam alkitab perjanjian lama, surat Kejadian 17:9-14, terjemahannya antara lain sebagai berikut: Firman Allah kepada Ibrahim:

“Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjian-Ku, engkau dan keturunanmu turun-temurun 9,

Inilah perjanjian-Ku yang harus kamu pegang, perjanjian antara aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat (dikhitan)10.

Haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu 11.

Anak yang berumur 8 hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun , baik yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu 12.

Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau beli dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal 13.

Dan orang-orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khitannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya, ia telah mengingkari perjanjian-Ku 14.

Perjanjian Tuhan tentang sunat (khitan) ini terjadi tatkala Ibrahim a.s. berumur 99 tahun, sedangkan Ismail a.s. berumur 13 tahun (Kej. 7:24-25). Semua perjanjian ini dilaksanakan pada dirinya, putranya (Ismail) dan seluruh kaum laki-laki yang di bawah tanggung jawabnya.

Millah Ibrahim tentang sunat (khitan) ini menjadi tradisi (sunnah) yang terus dilaksanakan dalam Islam, yang tujuannya adalah untuk mencapai ridha Ilahi, sebagai pertanda kedudukan di hadapan Ilahi, bukan semata-mata tradisi yang bersifat sosial.
Sunat/khitan menjadi penjelmaan, penerapan janji, dan mengajak orang untuk hidup dalam ketaatan sesuai dengan perjanjiannya kepada Tuhan. Sebagian orang jawa menamakan sunat/khitan dengan nama “selam” (mungkin Islam) berarti ketaatan atau penyerahan diri.

Tertumpahnya darah dalam sunat merupakan ungkapan tuntunan yang mahal yang dibuat oleh Allah bagi mereka yang dipilih dan dipanggil-Nya dan dicirikan dengan tanda perjanjian-Nya itu (khitan).

Ajaran sunat ini juga menuntut realitas penerapan hidup keseharian, agar seseorang sesuai dengan tanda perjanjiannya dengan Tuhan, dari mengingatkan bahwa tanpa kenyataan berupa ketaatan kepada Tuhan , maka tanda sunat itu menjadi hampa arti.

Selanjutnya tentang ajaran kurban.

Idul Kurban, yang hari ini kita rayakan, dengan melaksanakan shalat dan disusul dengan pemotongan binatang kurban merupakan tuntunan Nabi Muhammad S.A.W. yang dirujuk dari ajaran Ilahi yang telah dicontohkan oleh nabi Allah Ibrahim a.s. yang dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan “millah Ibrahim”. Ibrahim yang berarti: bapak sejumlah besar bangsa, perubahan dari nama awal Abram yang berarti “bapak yang dimuliakan”. Hidupnya dijadikan teladan iman terhadap Tuhan oleh lapisan orang-orang muslim, baik Islam, Yahudi, juga Nasrani.
Pada Idul Kurban kali ini ingin disampaikan tentang kesinambungan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad S.A.W., dengan ajaran Nabi Ibrahim a.s. , bukan tentang riwayatnya yang sebagian (kalangan Islam) menetapkan bahwa putra yang akan dikorbankan itu adalah Ismail a.s. bersumber daripada nash Al-Qur’an 37:102:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Dalam ayat ini tidak secara shorih menyebut nama Ismail a.s. namun oleh mufassir dengan isyarat anak yang sudah sampai batas umur dapat/sanggup berusaha, yang sudah mampu diajak tukar pikiran ketika firman pengorbanan itu turun, Ismail a.s. sudah mencapai umur ± 16/17 tahun, sedangkan Ishak baru berumur sapih ± 4 tahun. Penafsir ayat ini menetapkan Ismail a.s. yang dimaksud dengan perintah Tuhan itu.

Sedangkan pihak lain bersumber dari Suhuf yang terdapat dalam Perjanjian Lama Kej. 22:2, ayat ini dengan jelas menyebut nama: anak tunggal yakni Ishak a.s.. Dari kebiasaan yang berlaku pada zaman itu, putra yang dianggap dapat menjadi putra mahkota penerus kepemimpinan adalah anak yang dihasilkan dari pernikahan yang resmi, bunda Sarahlah yang dikatagorikan istri resmi, sedangkan bunda Hajar adalah wanita Mesir yang dijadikan pembantu oleh Sarah untuk keluarga Ibrahim a.s.. Tatkala keluarga Ibrahim a.s.

dan Sarah menyimpulkan bahwa mereka mandul maka Sarah mempersilakan Ibrahim untuk menikahi Hajar pembantunya itu, dan itu menurut budaya pada zamannya sebagai istri yang tidak dapat mewariskan anak sebagai putra mahkota.

Kedua-dua sumber ini tampaknya terdapat “perbedaan” dalam menyebut nama putra yang dikorbankan. Namun dalam prinsip kesediaan menerima ujian besar itu, jawaban dari putra yang akan dikorbankan itu adalah sama, baik dari sumber pertama maupun sumber kedua, yakni, taat setia dengan penuh kesabaran, melaksanakan perintah Tuhan untuk dijadikan korban sembelihan.

Prinsip tunduk patuh, pasrah, dan berserah diri secara tulus kepada Tuhan dengan segala kudrat dan iradat-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim a.s. dan kedua putra baginda Ismail a.s. dan Ishak a.s. dalam menerima perintah-Nya melaksanakan penyembelihan terhadap putranya kemudian putranya pun menyambut dengan tulus dan setia hati untuk menerimanya. Sehingga oleh Allah, Ibrahim a.s. yang tulus itu dikisahkan dalam Al-Qur’an S. 3:67

Bahwa Ibrahim bukanlah orang Yahudi dan bukan pula orang Nasrani, namun dia adalah orang yang lurus, lagi berserah diri kepada Allah (muslim) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang musyrik.

Agama seluruh nabi keturunan Ibrahim a.s. khususnya anak cucu Ya’kub a.s. (bani Israel), dilukiskan oleh Allah dalam kitab suci Al-Qur’an S. 2:133.

Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya’kub, dan ketika ia bertanya kepada anak-anaknya: Apakah yang akan kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab: Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu Ibrahim, Ismail, dan Ishak, dan kepada-Nya kami semua pasrah (muslimun).

Kemudian, Nabi Musa digambarkan melalui pertobatan Fir’aun bahwa Nabi Musa, membawa ajaran agar manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Fir’aun berusaha tobat setelah melihat kebenaran, dilukiskan oleh kitab suci Al-Qur’an S. 10:90.

Aku percaya bahwa tiada Tuhan kecuali yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang pasrah.
Juga digambarkan tentang Nabi Isa dan para pengikutnya, menunjukkan bahwa agama yang diajarkannya pun adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Allah, diurai dalam Al-Qur’an S. 3:52:

Maka tatkala Isa merasakan keingkaran mereka (kaumnya) berkatalah ia: Siapakah yang akan menjadi pendukungku kepada Allah? Para pengikut setianya menjawab: Kamilah para pendukung (menuju Allah), kami beriman kepada Allah dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (muslimun).

Semua agama yang benar adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Allah. Karenanya setiap orang beragama juga seorang muslim, tetap dituntut untuk terus mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan kemauan untuk tunduk patuh serta pasrah dan berserah diri kepada Tuhan dengan setulus hatinya, hanya dengan itu keagamaan seseorang dapat diterima oleh Allah.

Islam dalam pengertian seperti ini mesti dengan iman, seperti Ibrahim a.s. yang seluruh hidupnya membuktikan, bahwa ia sungguh-sungguh percaya kepada Allah dengan iman yang mendalam dan pasrah yang sepenuhnya. Dan itulah Islam.

Hadza wallohi yar'ana wayahfadna wal hamdulillahi robbil'alamin