Powered By Blogger

Minggu, 06 Desember 2009

MADINAH (Tempat berdirinya konstitusi Ilahi)

Madinah adalah nama pengganti dari Yatsrib yang diberikan oleh Rasulullah saw, secara etimologis Madinah sendiri merupakan kata benda yang menunjukkan tempat yang artinya adalah tempat yang dikuasai. Nama Yatsrib sendiri diberikan oleh orang-orang Jahiliyyah, sedangkan Allah swt menamainya Thayyibah sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Samurah yang mengatakan "Orang Jahiliyyah dulu menyebut Madinah dengan Yatsrib, kemudian Rasulullah saw menyebutnya Thayyibah."

Perubahan nama tersebut dilakukan Rasulullah saw segera setelah beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib. Hijrah itu sendiri merupakan langkah awal proses terbentuknya Daulah Islamiyah pertama di muka bumi pada saat itu. Hijrah itu merupakan pernyataan berdirinya Negara Islam Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad saw. Sistem yang dibangun Rasulullah saw di Madinah memenuhi syarat-syarat nominal untuk disebut sebagai sebuah negara.

Tulisan ini bermaksud memotret bagaimana kondisi masyarakat Madinah pasca hijrah Rasulullah saw; yang dimaksud dengan masyarakat Madinah dalam tulisan ini adalah masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah saw dalam satu ikatan Tauhid dengan sistem pemerintahan Islam. Secara umum masyarakat Madinah pasca hijrah dapat dibagi menjadi empat periode, yaitu:
1) Periode pertama dari mulai hijrahnya Rasulullah saw sampai masa Qital membela diri.
2) Periode kedua dari mulai masa qital membela diri sampai dengan teratifikasinya Perjanjian Hudaibiyah.
3) Periode ketiga dari mulai diratifikasinya naskah Perjanjian Hudaibiyah sampai dengan terjadinya pembukaan kota Makkah (futuh Makkah).

4) Periode keempat keadaan masyarakat Madinah pasca futuh.

Sesuai dengan judul tulisan ini, maka yang akan dibahas adalah keadaan masyarakat Madinah dalam dua periode pertama.
Periode Pertama
Periode pertama ini berlangsung selama kurang lebih dua tahun, dimulai dari bulan Rabi'ul awal tahun 1H sampai dengan bulan Rajab tahun 2H. Selama rentang waktu ini Rasulullah saw menerapkan asas-asas penting dari Negara Islam Madinah.
Asas yang pertama adalah pembangunan masjid.

Pembangunan masjid merupakan langkah pertama Rasulullah saw untuk menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan terpadu yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin. Hal ini dikarenakan masyarakat Muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapih kecuali dengan adanya komitmen terhadap sistem, aqidah, dan tatanan Islam. Tujuan ini dapat tercapai dengan menumbuhkan 'semangat masjid'.

Di antara sistem dan prinsip Islam ialah tersebarnya ikatan ukhuwah dan mahabbah sesama kaum Muslimin. Ikatan ini akan tercapai dengan bertemunya kaum Muslimin setiap hari dan berkali-kali dalam rumah Allah swt sampai terhapusnya perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan serta status dan atribut lainnya. Semangat persamaan dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan akan terwujud dengan tersusunnya kaum Muslimin berkali-kali dan setiap hari dalam satu shaff di rumah Allah swt. Kesatuan kaum Muslimin hanya akan terwujud dengan disatukannya mereka dalam tali Allah swt yang terbentuk dengan kebersamaan mereka dalam berdiri, ruku, dan sujud di rumah Allah swt, dengan mempelajari dan menerapkan syari'at-Nya secara sempurna.
Asas kedua adalah ukhuwah sesama kaum Muslimin.

Negara manapun tidak akan berdiri tegak tanpa adanya kesatuan dan dukungan ummatnya, sedangkan kesatuan tidak akan lahir tanpa adanya persaudaraan dan saling mencintai. Suatu jama'ah yang tidak disatukan dengan persaudaraan dan saling mencintai tidak akan mungkin dapat bersatu dalam suatu prinsip. Persaudaraan semacam ini harus didahului oleh aqidah yang menjadi ideologi dan faktor pemersatu. Persaudaraan antara dua orang yang berbeda aqidah dan ideologi adalah mimpi yang semu, dan karena itulah Rasulullah saw menjadikan aqidah sebagai asas persaudaraan yang menghimpun hati para sahabatnya dan menempatkannya dalam satu barisan ubudiyah hanya kepada Allah swt tanpa perbedaan apapun kecuali iman dan amal shaleh. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa asas ukhuwah ialah ikatan Islam.

Asas ketiga adalah perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang di luar Islam.
Perjanjian atau dalam istilah modern disebut 'dustur' yang dibuat Rasulullah saw berdasarkan kepada wahyu Allah yang dijadikan sebagai Qanun Azasi yang disepakati menunjukkan bahwa masyarakat Islam sejak awal masa pertumbuhannya tegak berdasarkan perundang-undangan yang sempurna. Hal ini merupakan satu bukti bahwa Negara Islam sejak awal berdirinya telah ditopang oleh perangkat perundang-undangan dan manajemen yang diperlukan oleh setiap negara.

Perangkat ini merupakan asas yang diperlukan bagi setiap pelaksanaan hukum-hukum syari'at Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, hukum-hukum syari'at tersebut secara umum didasarkan kepada pemikiran kesatuan ummat Islam dan masalah-masalah struktural lainnya yang berkaitan dengannya. Negara tidak akan terwujud manakala sistem perundang-undangan tersebut tidak ada.

Negara Islam Madinah yang dibangun oleh Rasulullah saw dari semenjak berdirinya sudah dihadapkan pada situasi konfrontatif dengan kekuasaan kafir Quraisy di Makkah. Para pendukung Darun Nadwah tidak rela melihat Daulah Islam yang dibangun Rasulullah saw tampil menjadi satu kekuatan yang bisa mengancam eksistensi mereka. Mereka kemudian mengeluarkan keputusan bersama untuk menggalang dan mengerahkan seluruh kekuatan bersenjata untuk menghancurkan Madinah, sebagaimana yang kemudian diinformasikan Allah melalui surat al-Anfal (8):30 kepada Nabi-Nya saw.
Menyadari kenyataan seperti itu Rasulullah saw tidak tinggal diam, beliau segera mempersiapkan masyarakat Madinah untuk memiliki kesiapan dalam menahan dan menggagalkan setiap usaha invasi Makkah ke Madinah. Dalam Piagam Madinah sudah diatur bagaimana kewajiban setiap warga untuk mempertahankan eksistensi Madinah dari setiap kemungkinan serbuan kekuatan Makkah. Bahkan semenjak sebelum hijrah ke Madinah Rasulullah saw sudah mempersiapkan kekuatan militer dengan melakukan bai'at aqabah kedua yang menuntut kesiapan dan kesanggupan Anshar untuk membela Rasulullah saw seperti membela anak dan isterinya, dalam satu peristiwa dramatik ketika Rasulullah saw didampingi Abbas bin Abdul Muthalib menemui 74 orang delegasi Madinah di Aqabah. Apalagi pada saat itu telah turun wahyu kepada beliau saw yang isinya izin dari Allah untuk mengangkat senjata bagi orang yang diperangi (al-Hajj (22):39).
Allah swt berfirman dalam ayat tersebut, "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka."

Kenyataan ini semakin dipertegas dengan diturunkannya surat al-Baqarah (2):216, "Diwajibkan atas kamu berperang...". Dengan turunnya ayat tersebut Rasulullah saw dan para sahabatnya di kalangan Muhajir dan Anshar memiliki landasan wahyu untuk melakukan upaya perlawanan dalam rangka membela diri dan mempertahankan eksistensi Negara Islam Madinah dari setiap agresi militer pihak kafir Quraisy. Ayat tersebut juga mengakhiri periode pertama masyarakat Madinah. Masa yang penuh dengan langkah persiapan Rasulullah saw dalam membina masyarakat Madinah, meletakkan asas-asas masyarakat Muslim, membina kesiapan dan ketangguhan mereka untuk mempertahankan eksistensi Madinah sebagai wujud dari zhohirnya Mulkiyah Allah swt.
Periode Kedua
Periode kedua masyarakat Madinah dihiasi dengan berbagai perisitwa heroik ummat Islam dalam mempertahankan Daulah Islam dari setiap agresi militer pihak kuffar. Masing-masing peperangan ini merupakan tindak balasan atau counter attack terhadap persekongkolan atau permusuhan yang dilancarkan pihak kuffar dan musyrik. Pembahasan periode kedua masyarakat Madinah dalam tulisan ini akan ditekankan kepada beberapa peristiwa penting saja. Bahasan tersebut untuk menunjukkan bagaimana gigihnya usaha Rasulullah saw dan para sahabatnya dalam mempertahankan eksistensi Madinah dan sebagian besar pasukan pemanah yang turun membantu kawan-kawannya ke kancah pertempuran dengan meninggalkan posnya.

Kejadian ini dimanfaatkan Khalid bin Walid dan Ikrimah untuk mengadakan serangan balik terhadap kaum Muslimin yang mengakibatkan terdesaknya pasukan kaum Muslimin. Rasulullah saw sendiri sampai terperosok ke dalam lubang dan menderita luka di bagian wajahnya oleh hantaman batu dan lemparan tombak musuh. Para sahabat seperti Abu Dujanah, Ziyad bin Sakkan dan Ali bin Abi Thalib menjadikan tubuhnya sebagai perisai hidup untuk melindungi Rasulullah saw. Abu Dujanah syahid, Ziyad bin Sakan syahid bahkan menghembuskan nafas terakhirnya di kaki Rasulullah saw. Hamzah syahid dengan perut terbelah dan hidung serta telinga putus.

Keadaan tersebut diperkeruh dengan desas-desus yang muncul dari kaum Munafiq yang mengatakan Rasulullah saw wafat dan mereka menghasut sahabat lain untuk lari dari peperangan. Mereka mengatakan, "Buat apa kalian berperang untuk mencari kematian, toh Muhammad sudah mati?"

Anas bin Nadhar yang mendengar seruan tersebut berteriak, "Buat apa kalian hidup jika Rasulullah saw sudah wafat?" Lalu dia kemudian menghumus pedangnya dan menghambur ke tengah pasukan Quraisy sehingga menemukan kesyahidan. Peristiwa ini semakin menunjukkan karakteristik dan figur-figur Munafiq di kalangan penduduk Madinah di sekitar Rasulullah saw. Sepulangnya dari Uhud kaum Munafiq semakin gencar menghina dan mengejek kaum Muslimin dengan ungkapan yang menghinakan. Celotehan mereka dikomentari al-Qur'an dengan ungkapan, "Dan orang-orang yang tidak turut dalam berperang itu berkata: 'Sekiranya mereka mengikuti kita tentulah mereka tidak terbunuh'. Katakanlah: 'Tolaklah kematian itu darimu jika kamu orang-orang yang benar'." (Qs.Ali-'Imran (3):168)

Sikap bermusuhan orang Munafiq semakin kentara dengan terjadinya fitnah terhadap Siti Aisyah ra, yang dalam sejarah dikenal dengan peristiwa Haditsul Ifki. Dalam peristiwa ini Siti Aisyah ra difitnah terlibat perselingkuhan dengan Shafwan bin Mu'athal seorang sahabat Rasulullah saw setelah peperangan Bani Musthaliq. Berita bohong tersebut disebarkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul seorang gembong Munafiq di zaman Nabi. Peristiwa tersebut ditegaskan dalam surat an-Nur (24):11-21. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar

Puncak permusuhan kalangan kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah dengan kalangan Munafiq Madinah serta Yahudi terjadi dalam peristiwa peperangan Ahzab atau Khandaq. Menurut Ibnu Ishaq dan Jumhur Ulama sirah peperangan ini berlangsung pada bulan Syawal tahun 5H, ada juga yang mengatakan tahun 4H. Peristiwa Ahzab sendiri diawali dengan pengkhianatan Yahudi Bani Nadhir yang berangkat ke Makkah dan mendorong Quraisy untuk melancarkan perang terhadap Rasulullah saw. Dalam peristiwa ini pasukan Ahzab yang terdiri dari kufar Quraisy dan Musyrikin Makkah mengepung Madinah selama lima hari, karena mereka tidak bisa berlanjut menyerbu Madinah akibat terhalang parit yang digali kaum Muslimin di sekeliling Madinah. Pengepungan pasukan Ahzab sendiri akhirnya bubar setelah terjadi perpecahan intern yang disebabkan muslihat 'adu domba' Rasulullah saw. Muslihat tersebut dilakukan oleh Nu'aim bin Mas'ud, seorang Muslim yang tidak diketahui keislamannya, untuk memecah belah persatuan pasukan Ahzab. Pertolongan Allah berupa topan memporak-porandakan pasukan tersebut, kemah-kemah mereka runtuh, sarana dan prasarana mereka porak-poranda dilanda topan yang besar. Kesemuanya memaksa mereka untuk angkat kaki dari Madinah.
Dari peristiwa tersebut nampak beberapa ibrah, antara lain bahwa:

1) Kaum Muslimin tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikiran yang cermat untuk mengatasi hambatan. Mereka harus fathonah sepanjang cara tersebut tidak melanggar syar'i. Hal ini ditunjukkan dengan syiasah perang yang dilakukan dengan penggalian parit yang merupakan usulan Salman al-Farisi. Satu bentuk taktik perang yang saat itu belum dikenal oleh bangsa Arab. Sehingga Abu Sufyan mengatakan "Demi Allah, ini bukan cara berperang bangsa Arab" ketika pasukannya menemui hambatan berupa parit.

2) Kaum Muslimin adalah satu ikatan komunitas tauhid yang sederajat, yang ditunjukkan dengan kebersamaan mereka dalam penggalian parit. Rasulullah saw sendiri sebagai seorang pimpinan turun tangan untuk bersama-sama menggali parit, bahkan ketika kaum Muslimin terhambat penggaliannya dengan adanya batu besar yang tidak bisa dihancurkan, Rasulullah saw yang turun menghancurkannya.

3) Dalam peristiwa tersebut juga terlihat bagaimana sikap Rasulullah saw yang melakukan test case untuk mengetahui kesiapan para sahabatnya dengan menawarkan kepada para sahabat untuk mencari jalan damai dengan suku Ghataffan. Sikap para sahabat yang menolak usulan tersebut menjadikan indikasi kesiapan mereka untuk bertempur habis-habisan yang menjadikan dasar objektif kesiapan mereka. Karena seorang pimpinan tidak boleh membawa pengikutnya ke dalam kancah pertempuran yang sengit tanpa pemahaman yang jelas dari pengikutnya akan resiko tindakan tersebut.
4) Pertolongan Allah akan senantiasa diberikan manakala ummat penegak risalah-Nya tetap konsisten, sabar, ikhlas, dan tawakkal dalam menghadapi berbagai kendala dan hambatan dalam menegakkan munculnya karakteristik Munafiq di Madinah serta pengkhianatan Yahudi terhadap naskah perjanjian yang telah disetujui.
Dari peristiwa dalam Perang Badar dapat diambil satu ibrah penting, yaitu: Perang Badar merupakan tarbiyah illallah bagi kaum Muslimin yang dengan jelas tergambar dalam firman Allah dalam surat al-Anfal (8):7, "Dan ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar (membuktikan kebenaran) dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang Kafir."
Pada awalnya kaum Muslimin keluar dari Madinah untuk menghadang kafilah dagang Abu Sufyan yang datang dari Syam. Tetapi Allah menghendaki ghanimah dan kemenangan yang lebih besar lagi bagi hamba-Nya, di samping merupakan tindakan yang jauh lebih mulia dan lebih sejalan dengan tujuan yang harus dicapai kaum Muslimin. Allah meloloskan kafilah dagang Abu Sufyan dan justru menghadapkan kaum Muslimin dengan peperangan yang tidak pernah mereka duga. Peristiwa ini menunjukkan bahwa harta kuffar adalah halal untuk dirampas oleh kaum Muslimin manakala mereka mampu untuk mengambilnya. Hukum ini telah disepakati para fuqaha. Akan tetapi kendatipun hal ini diperbolehkan, Allah menghendaki langkah yang lebih mulia dengan cara berjihad dan berkorban harta bahkan jiwa di jalan-Nya. Al-Maut ayyatu hubbi shadiq (Mati adalah bukti cinta yang paling tinggi).

Para sahabat yang terguncang hatinya dengan kondisi tiba-tiba yang dihadapinya ditenangkan Allah dengan ungkapan Rasulullah saw yang menegaskan bahwa kemenangan telah diperoleh kaum Muslimin. Bahkan Rasulullah saw menunjukkan tempat-tempat di mana dan siapa saja yang akan roboh terbunuh dalam peperangan tersebut. Sekalipun demikian Rasulullah saw sepanjang malam menjelang pertempuran tersebut berlangsung tetap berdiri dalam kemahnya untuk bermunajat kepada Allah memohon kemenangan diberikan kepada kaum Muslimin. Satu sikap ubudiyah yang menghantarkan manusia kepada kedekatan dengan Allah swt, sikap merendahkan diri di hadapan Allah yang mengundang datangnya pertolongan Allah kepada hamba-Nya. Segala musibah yang diterima hanyalah mengharuskan manusia berlari kepada Allah untuk menyerahkan diri dan mengakui kelemahan dirinya di hadapan Khaliq yang Maha Perkasa. Itulah sikap ubudiyah Nabi yang merupakan harga yang harus dibayar untuk sebuah pertolongan Allah, "Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu. Sesungguhnya akan Aku datangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu Malaikat yang datang secara gelombang." (Qs.8:9)
Pada periode kedua ini kaum Muslimin dihadapkan pada sikap pengkhianatan Yahudi (Bani Qainuqa) terhadap perjanjian di antara penduduk Madinah. Peristiwa ini menurut Ibnu Hisyam yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja'far adalah diawali dengan penghinaan sekelompok Yahudi terhadap seorang wanita Muslimah. Akibat tindakan tersebut orang Yahudi tersebut dibunuh oleh seorang Muslim yang mengetahui dan menyaksikan bagaimana aurat bagian belakang wanita Muslimah tersebut tersingkap akibat perbuatan seorang tukang sepuh Yahudi yang mengkaitkan pakaian Muslimah tersebut. Laki-laki kaum Muslimin tersebut kemudian dikeroyok oleh orang-orang Yahudi di pasar tersebut sehingga syahid. Ketika Rasulullah saw akan menghukum kaum Yahudi tersebut Abdullah bin Ubay datang menghalangi Rasul menjatuhkan hukuman sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Rasulullah kemudian mengusir Yahudi Banu Qainuqa dari Madinah. Peristiwa ini dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5):51-52 tentang larangan mengambil orang Yahudi sebagai pemimpin.

Peristiwa ini hanyalah menunjukkan bagaimana kedengkian di kalangan orang Yahudi sudah berurat berakar dalam hati mereka, sehingga ketika ummat Islam memperoleh kemenangan dalam peperangan Badar kebencian tersebut mencuat ke luar. Kedengkian mereka terlihat dengan sikap pongah Yahudi yang meremehkan kemenangan ummat Islam dan tindakan jahat mereka dalam peristiwa di atas. Peristiwa tersebut di atas juga menunjukkan bagaimana sikap Munafiq yang menyimpan kedengkian dan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin. Tetapi kendati demikian peristiwa tersebut juga mengajarkan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap seorang Munafiq. Islam memiliki dua aspek hukum, yaitu hukum syar'i yang diterapkan di dunia di bawah kendali seorang khalifah dan hukum Allah kelak di Yaumul Akhir di hadapan mahkamah pengadilan Allah yang Maha Adil. Seorang Munafiq seperti Abdullah bin Ubay tetap diperlakukan sebagai seorang Muslim, bahkan permintaannya untuk membebaskan Yahudi Qainuqa yang melanggar perjanjian dengan Rasul diluluskan. Aspek hukum pertama harus didasarkan kepada bukti empirik dan fakta nyata, sedangkan aspek ruhaniah Allah-lah yang akan menghukumnya kelak di pengadilan Illahi di negeri Akhirat.

Peperangan Uhud adalah kejahatan pahit yang diderita oleh kaum Muslimin, akan tetapi peperangan ini juga menunjukkan bagaimana kecintaan para sahabat terhadap pemimpinnya Nabiyullah Muhammad saw. Ketika kemenangan kaum Muslimin berubah menjadi bencana akibat ketelodoran risalah-Nya. Sikap tersebut di atas hanyalah akan wujud dengan adanya bekal aqidah yang benar dalam dada setiap Muslim.
Periode kedua ini berakhir dengan ditanda-tanganinya naskah Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulqaidah di penghujung tahun 6H. Peristiwa ini sesungguhnya merupakan tadbir Illahi yang merupakan rahasia Illahi. Oleh karena itu alangkah wajarnya jika kaum Muslimin yang hadir di peristiwa tersebut sama terkejut dan terperanjat melihat peristiwa tersebut, dikarenakan mereka lebih banyak mengandalkan pemikiran dan pertimbangan sendiri. Perdamaian ini hakekatnya adalah muqadimah menuju kepada futuh Makkah. Segera setelah perdamaian tersebut ditanda-tangani dan diumumkan, maka terjadilah gelombang da'wah yang luar biasa di kalangan penduduk Madinah dan sekitarnya. Ummat Islam memiliki keleluasaan untuk menjelaskan tentang Islam dan melancarkan da'wah yang universal. Sehingga ummat yang masuk ke dalam barisan Rasulullah saw bahkan lebih banyak dari sebelum peristiwa itu terjadi. Oleh sebab itulah al-Qur'an menamai peristiwa ini sebagai fathan mubina (Qs.48:1).

Hikmah lainnya adalah, dengan peristiwa tersebut Allah menunjukkan perbedaan yang sangat jelas antara wahyu dan rekayasa pemikiran manusia, antara bimbingan Nabi dan pemikiran seorang jenial, antara ilham Illahi yang datang dari alam luar sebab-akibat dan memperturutkan sebab-akibat. Barangkali inilah salah satu bentuk ungkapan al-Qur'an: "Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat" satu bentuk pertolongan yang unik, yang merupakan rekayasa Illahi, sehingga menyentak setiap akal manusia, karena kesemuanya merupakan tadbir Illah yang hanya akan difahami oleh manusia seperti Nabi saw yang berjalan, berucap, dan berbuatnya senantiasa di bawah bimbingan wahyu.

Rabu, 26 Agustus 2009

MUSTIKA SIFAT CAI

“Lamun rayat nagara ariman tur taraqwa, tinangtu bakal ginuluran barokah ti langit jeung bumi, tapi maranehanana daroraka, mangka pinanggih jeung kasusah/siksaan anu dilantarankeun ku kadorakaanana” (QS 7/196).

Cai mangrupakeun salah sahiji tina opat unsur alam (bumi, cai, angin, seuneu), anu bisa ngajirim dina rupa-rupa bentuk, kitu oge ngarana bisa jadi puluhan/ratusan/rebuan gumantung kana patempatan jeung samara anu dikandungna, aya cai laut, cai hujan, cai leuncang, cai ibun, cai walungan, cai nyusu, es, sirop, cikopi, cai teh, jus, jrrd. Kahirupan moal lumangsung lamun salah sahiji tina opat unsur alam ieu dileungitkeun ku nu ngadamelna, boh caina, bumina, seuneuna atanapi angina. Cai ngalimpudan sakabeh tilu pertala alam, di langit cai ngawujud haseup, di darat cai ngawujud laut/walungan jsb, di jero taneuh cai cicing sajeroning cadas/batu. Tegesna cai aya dimana-mana, dimana manusa aya didinya cai aya, di langit aya cai, di darat aya cai, di laut aya cai, dina tatangkalan aya cai, dina batu aya cai, dina wangunan gedong aya cai (tembok diaduk make cai), dina mobil aya cai (cai radiator, cai aki), dina wujud manusa aya cai, dina sasatoan aya cai, dina tutuwuhan aya cai, dina radio aya cai, dina komputer aya cai, dina setrika aya cai, meh sakabeh alat anu dijalankeun make tanaga listrik pasti ngandung unsur cai sabab listrik dijieun tina tanaga cai.

Lamun manusa geus bisa ngabedakeun cai murni tina sagala wadah, samara, jeung bentukna, hartina manusa geus wawuh kana mustikaning cai. Jadi teu salah-salah teuing jeung teu bener-bener teuing lamun aya anu nyebut cai kana tatangkalan, kana angin, kana wangunan gedong, kana wahangan, kana es, kana mobil, kana meja, kana korsi, kana lomari, kana radio, kana televisi, kana kadaharan (sangu, roti, bubuahan, daging), jeung sajabana, sabab kabehanana kalimpudan/kungsi kalimpudan ku cai. Sing saha anu hayang panggih jeung cai, tempo jeung regepkeun naon-naon anu aya di hareupeunana, tangtu papanggih, ngan panggihna aya anu pajonghok aya anu teu pajonghok, atawa panggihna teh ku teu kapanggih.

Demi pasipatan cai seukeut kaditu kadieu, hartina bisa jadi pahala lamun kaluar sifat jamal-na, oge bisa jadi mamala lamun keur kaluar sifat jalal-na, kakuatan pangaruhna mah meh sarua. Salalawasna ieu sipat jalal jeung jamal teh muncul babarengan saitungan waktu, tina hiji waktu aya manusa anu keur ngarasakeun jamalna cai, tina waktu anu sarua oge aya manusa anu ngarasakeun jalal-na tina cai. Tina hiji waktu aya jalma anu keur ngarasakeun kanikmatan anu datang tina cai, tina waktu anu sarua aya oge jalma anu keur ngarandapan kasusah kulantaran cai. Cai bisa jadi sumber kahirupan, oge cai bisa ngakalakeun jelema nepi ka nembahan patina, geus loba catetan tina sajarah yen cai pernah ngabalukarkeun rebuan/jutaan manusa pinanggih jeung ajal, sabalikna sakabeh manusa di dunya kalimpudan ku mangpaat anu dikaluarkeun ku cai. Ceuk sakaol mah cai teh mangrupakeun gambaran sipat Pangeran anu aya di dunya.

Nyakitu oge tina hiji waktu aya anu keur ngarandapan peuting, oge aya anu keur ngarandapan beurang. Beurang jeung peuting ngajadi babarengan, henteu piligenti, ngan patempatanana anu piligenti. Sifat jalal jeung sifat jamal leumpang sarimbagan, kitu mungguh anu Maha Sampurna, moal disebut sampurna lamun wawarehan, aya hiji euweuh hiji, aya beurang euweuh peuting, aya bener euweuh salah, aya susah euweuh senang, aya panas euweuh tiis, aya beunghar euweuh sangsara, aya gaib euweuh galib, aya pait euweuh amis, jsb. Salaku manusa wajib tumarima kana sagala kajadian anu karandapan, ulah resep kana senang wungkul matak ngewa kanu susah, ulah resep kanu beunghar wungkul matak karunya kanu sangsara, ulah betah di beurang wungkul matak suwung waktu peuting. Anu matak aya paribasa Sunda , “Ulah ngewa ka halodo, matak senang ka palika. Jeung ulah ngewa kana ngijih matak senang bapa tani”. Teges pisan kumaha pantesna manusa nempatkeun sikap salaku makhluk Nu Maha Kawasa.

Tina lalakon pawayangan aya anu disebut Ajian Pancasona, nyaeta ajian anu ngandelkeun kana wewesen cai, pangaruhna bisa seukeut kaditu kadieu, keur deleka bisa, keur tutulung oge bisa, sarua wae matihna mah, gumantung kanu metakeunana. Basa Ajian Pancasona dicepeng ku Raden Subali, wewesena mawa barokah keur manusa sabudeureunana, sabalikna ari keur dicepeng ku Rahwana mah malah jadi mamala ka balarea. Tina lalakon wayang sejena aya anu katelah “Talaga Pancuran”, sirah cai anu mere kahirupan ka rahayat Amarta dibendung ku Bima tur ngabalukarkeun rahayat sajeroning nagri jadi katalangsara, sangsara kadungsang-dungsang, sawah garing, pepelakan pararaeh, dahareun hese, jsb. Demi anu ngalantarankeunana nyaeta Bima ngarasa keuheul kana kalakuan rahayatna anu geus heunteu malire tur teu mupusti deui kana Talaga Pancuran titinggal karuhuna, leuweung dibukbak dijieun paimahan, walungan dijadikeun pamiceunan runtah, pasawahan disulap jadi toko-toko, sirah cai dijadikeun hotel, jeung sajabana. Ku dibendungna sumber cai ku Bima, kakara sakabeh rahayat Amarta sadar kana pentingna cai keur kahirupan manusa kabeh, tapi orokaya Bima henteu daekeun ngudar bendunganana sanajan para dewa ti kahiangan turun ka marcapada geusan ngelingan Bima, kabeh teu aya nu metu sahingga Bima dilelerkeun ku Dewa Kamanusaan, nyaeta Semar anu ngagaduhan tugas babakti ka umat manusa sajagat, sarua jeung cai anu tugasna babakti ka manusa sakuliah dunya, teu dengdek topi, arek manusa jujur, jahat, beunghar, sangsara, islam, hindu, budha, atheis, kapercayaan, animisme, dinamisme, jsb, kabeh kalimpudan ku sifat asihna cai.

Dina lalakon wayang sejena, anu pakuat pakait jeung pentingna cai nyaeta Rama Tambak, harita Batara Rama anu parantos samagring sabalad-balad bade ngajorag Dasamuka ti nagri Alengkadireja, kapegat ku sagara anu misahkeun Guakiskenda sareng nagri Alengka. Mangka Batara Rama metakeun ajianana geusan menta tulung ka Dewa Baruna anu ngawasa laut, demi anu diseja nyaeta sangkan Dewa Baruna nyaatkeun lautna saharitaeun keur mere jalan meuntas pasukanana. Beak mantra beak kalimah, laut henteu saat-saat, akhirna Batara Rama bendu lajeng mesat gondewana bade mentang laut ku senjata warisan ti Rama Bargawa. Sakiceup saencan panah melesat tina gondewa, Batara Baruna megat terus mepeling, yen naon anu dipiharep ku Rama henteu diluyuan ku Sanghyang Wenang, sabab bakal maruksak mangjuta-juta makhluk anu merelukeun cai. Sabalikna, Batara Rama salaku titisan Wisnu kudu ngaheulakeun kapentingan balarea disagigireun kapentingan pribadi. Ngajaga cai sarua pentingna jeung ngajaga manusa.

PASIPATAN CAI

Cai ngabogaan sabababaraha sipat anu bisa dilenyepan:

1. Bener
Tingkah paripolah cai tara nista tina aturan alam, bener salawasna, luyu kana tujuan diciptakeunana cai nyaeta pikeun ngaping kahirupan makhluk sapangeusi dunya. Sakali waktu cai oge remen ngelingan ka umat manusa dimana manusa geus mopohokeun fitrah alam, sangkan baralik deui kana kahirupan anu bener, anu saluyu jeung aturan hirup.

2. Jujur
Cai tara linyok tara bohong, dimana-mana rupa jeung sipat cai sarua, ngaran terus kana wujud, wujud terus kana rupa, rupa terus kana sipat, sifat terus kana rasa. Keur dingaranan es wujudna padet, rupana herang, sipatna netep, rasana tiis. Jujurna cai teu pandang tempat jeung kaayaan, rek dihareupeun manusa, rek dihareupeun sato, oge rek dihareupeun tutuwuhan, cai salalawasna mintonkeun kajujuran.

3. Pinter
Kapinteran cai katingal tina kamampuhanana nyesuaikeun kaayaan dirina gumantung kana alam anu keur disinghareupan. Cai oge bisa nerus bumi ngambah jomantara, di alam tiis cai bisa jadi es, di alam panas cai bisa jadi haseup, tapi tetep cai bisa ngigelkeun jeung ngigeulan alam sabudeureunana. Tegesna cai bisa ngungkulan sagala pasoalan anu ditibankeun ka dirina.

4. Kuat
Kakuatan cai anu pilih tanding moal bisa ditumpurkeun, sabab kakuatanana ngabaju reujeung wujudna. Cai sanggup malidkeun sapangeusi dayeuh, cai sanggup ngaratakeun gunung, cai bisa nyieun gunung, cai sanggup ngeueum jagat, cai sanggup nyaangan (listrik) saalam dunya, jeung sajabana. Aya paribasa Cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok, batu anu sakitu teuasna beunang dipahat ku cikaracak anu teu sabaraha teuas. Tapak-tapak cai nembongkeun katohagaanana beunang dijieun bahan tafakur pikeun jalma anu mikir.

5. Adil
Cai ngabogaan sipat adil hartina teu pandang basa, agama jeung bangsa, uteuk tongo walang taga di satungkebing langit gkaraking jagat, salarea kabagi walatra mangpaatna tina cai. Cai anu asal ti Nu Maha Adil, ngabogaan sifat adil anu bisa dirasakeun di sakabeh makhluk.

6. Wani
Wani ngandung harti teu mundur tina nyinghareupan sagala rupa kaayaan tur cocoba, cai ngabogaan sifat anu wani sabab cai pantang mundur nyinghareupan kaayaan. Dipalidkeun ka laut cai turut, di bawa ka darat cai rikat, di tiup ku angin cai ngangin, dibendung ngabarung, nyinghareupan seuneu ludeung, nyorang kanu poek oge daek, tegesna taya kasieun taya karingrang, sanggup nandingan kanu aya di handap, di tengah jeung di luhur kalayan papak.

7. Asih
Makhluk cai anu asal ti Nu Maha Asih, ngawaris sifat-sifat asih tur dipintonkeun ku mere mangpaat ka sasama makhluk. Asihna cai walatra ngabagi sakabeh makhluk. Keur nu kahausan cai bisa mere kasegeran, keur kokotor cai bisa ngaberesihan, keur patani cai mere kasuburan, keur makhluk di laut cai mere kahirupan, keur makhluk di darat nyakitu keneh. Sagala kaayaan disinghareupan ku cai make dadasar asih, handap asor, tenang, jeung pasti.

8. Sadar, Sabar tur Tawekal
Cai digelarkeun ka alam dunya ku kersaning Nu Maha Kawasa, kalayan ngemban tugas ngaping kahirupan. Dibere tugas sakitu beuratna cai tumarima, teu ngajukeun naek banding atawa protes, sabab cai boga sifat sadar, sadar salaku abdi gusti pikeun ngawula ka sasama.

Ku manusa cai dipake sagala rupa kabutuhan hirup, tapi cai sabar tumarima kana takdir diri, teu humandeuar bari terus geten babakti. Dijieun bahan inumeun, dipake masak, dipake kukumbah, dialirkeun kana kolomberan, diasupkeun kana septic tank, dipake meresihan kokotor, dipake paniisan mesin, dijieun pusat tanaga listrik, jrrd, sakabehna ditedunan ku cai.

Demi sipat tawekal cai katingal tina tarekahna ciibun janari anu digelarkeun ku angin peuting, neangan jalan pangbalikan ka alam asal nyaeta laut. Salila kumelendang di darat, sakeclak cai manggihan mangpirang-pirang kangeunah jeung katugeunah, ti mimiti cicing ditempat anu pangmulyana, nepi ka cicing di tempat anu pikageuleuheun. Tapi manehna teu poho kana tujuan mimiti nyaeta balik deui ka laut, tempat dimana asal ngajadi. Katawekalan cai sanggup ngungkulan sagala bangbaluh, dimana pinanggih jeung hahalang, cai ikhtiar ngumpulkeun wewesena sangkan bisa leupas tina hahalang. Kitu saterusna nepika sakeclak cai balik deui nepi ka asal nyaeta laut, bari mawa rupa-rupa hasil.

Masih loba keneh sipat cai anu bisa diguar jeung bisa dijadikeun eunteung keur kahirupan manusa, sifat-sifatna bisa diconto jeung diterapkeun kana hirup kumbuh sasama hirup.

WALUNGAN CITARUM

Citarum hiji walungan gede anu meulah Tatar Pasundan ti belah tengah ka belah wetan, dimimitian ti suku Gunung Wayang malibir ka tengah kota Bandung terus ngamuara ka laut Jawa.

Sajarah ti Tatar Sunda anu aya patula-patalina sareng kahirupan cai nyaeta: Dewi Sumur Bandung (di Bandung), Talaga Sangiang (Majalengka), Talaga Pancawarna (Puncak Bogor), Talaga Pancuran (Situ Lembang), Situ Bagendit (Garut), Sangkuriang (Lalakon ngabendung Citarum), Situ Lengkong (Panjalu), Situ Cangkuang (Leles Garut), Curug Tujuh (Cimanganten Garut), Curug Panganten (Cimahi), Dewi Roro Kidul (Laut Kidul), Sangyang Batara Saraga (Laut Jawa), jrrd.

Citarum asal kecapna tina Cai + Tarum, disingket janten Citarum. Tarum salah sahiji pepelakan sabangsaning babadotan, jotang, antanan, jrrd sok jaradi dina galengan anu deukeut kana cai, umpamana dina sisi walungan atawa galengan sawah. Ngaran Citarum bisa jadi dilantarankeun ku lobana tarum di sabudeureun Citarum.

Sirah Citarum anu aya di Gunung Wayang, mangrupakeun saksi sajarah tur ulubiung kana mangrupa-rupa kajadian alam Pasundan khususna, alam dunya umumna. Gunung Wayang anu mangrupakeun `pawayangan ing manusa` geus nurunkeun sumber kahirupan keur umat manusa sadunya ku jalan ngocorkeun Citarum. Mangga lenyepan. Kuayana Citarum, tilu bendungan nyaeta Jatiluhur, Saguling jeung Cirata diwangun ngajadi sumber tanaga listrik, anu migeuykeun 90% tina kahirupan manusa jaman kiwari. Dua puluh opat jam sapoe, kabeh manusa di wewengkon Pasundan (ngawengku Sunda Besar jeung Sunda Kecil) marake listrik anu sumberna ti Citarum. Ku ayana listrik, mesin dijalankeun, wangunan-wangunan dicaangan, jeung teknologi dikembangkeun. Hasil-hasil tina industri, salian dipake ku Urang Sunda, oge sumebar ka lima benua. Jadi tetela pisan Gunung Wayang jeung Citarum-na sanggup mere mangpaat ka manusa sakuliah dunya.

Kukituna munasabah lamun manusa disabudeureun Citarum khususna, di sakuliah Pasundan umumna syukuran jeung sadar kana pentingna walungan Citarum pikeun karaharjaan. Bentuk syukuran bisa diwujudkeun ku ngajaga tur ngokolakeun Citarum sangkan bisa mere mangpaat salalawasna keur kahirupan.

Citarum bihari sarua jeung Citarum kiwari, bedana lamun baheula mah Citarum nu aya di Kota Bandung teh caina herang tembus ka dasar, ari ayeuna caina kiruh pinuh ku runtah. Bihari Pajajaran dihirupan ku Citarum, kiwari Pajajaran wanda anyar oge dihirupan ku Citarum, nu beda ngan waktu jeung nu ngalalakona. Pamingpin Pajajaran wanda anyar kudu bisa nyangking sifat-sifat cai, lain cai nu pinuh ku kokotor jeung runtah, atawa nu pinuh ku barang sampeuran, tapi cai anu datangna ti birit leuwi, ti Gunung Wayang pawayangan manusa.